Subjek, Predikat, dan Struktur Kalimat Kesaksian

Saya perlu mendengarkan kesaksian, namun tidak ingin mendengar kesaksian yang tidak perlu.

Natal tahun ini yang bersamaan waktu dengan masa kampanye pemilu memunculkan peringatan-peringatan agar jangan sampai tempat peribadatan disisipi kepentingan politik. Tidak terkecuali di Gereja, khususnya di Papua yang mayoritas adalah umat Kristiani. Kepentingan politik bisa saja menyusup melalui sumbangan, sesi pengumuman, dan ruang kesaksian. Emang boleh?

Iman saya yang timbul-tenggelam dan kelakukan yang masih sering berjalin dengan dosa ini perlu untuk mendengar kisah hidup yang digerakkan, diubahkan, dan dipakai oleh Tuhan demi mewujudkan tujuan-Nya di dunia.

Di Ob Anggen, tempat saya mengajar dulu, kami punya kebiasaan membagikan “victory stories” atau cerita kemenangan. Beberapa kali kami harus diingatkan dengan keras agar kami jangan sampai membajak tujuan dari cerita kemenangan, yaitu menceritakan pekerjaan Tuhan, yang bisa dilihat dari pertumbuhan murid, rekan kerja, orangtua, dan siapapun juga yang terlibat dalam komunitas. Pertumbuhan itu bisa berupa pencapaian akademik, perbaikan karakter, dan atau peningkatan kualitas kerja, dari yang skalanya kecil sampai yang cukup besar sehingga dapat dirasakan oleh banyak orang. Jadi, cerita kemenangan bukan cerita untuk memuji seseorang apalagi diri sendiri. Kalau sampai begitu namanya salah kaprah.

Dalam hal kesaksian, salah kaprah juga bisa terjadi kalau kesaksian hanya melulu soal Tuhan yang “memberkati” dengan pencapaian, prestasi, kenaikan pangkat, kemenangan sewaktu lomba, atau perayaan ulang tahun. Perlu diingat, bahwa selain memberi berkat, Tuhan juga menasehati, mengajari, bahkan menegur. Ketika kita berharap sesuatu agar berjalan sesuai dengan keinginan diri, Tuhan seringkali “hanya” melihat dan mendengar lalu mengijinkan sesuatu terjadi agar kita belajar. Namun hati-Nya seperti hati seorang Bapa yang menunggu anak yang hilang untuk kembali setelah sadar akan ketersesatannya lalu mengampuninya. Tuhan juga berjanji dan oleh karena Ia setia, Ia menguatkan dengan menyertai kita dalam tantangan dan kesulitan. Tuhan mengutus, menolong, menyembuhkan, dan meN–meN1 lainnya sampai yang paling luar biasa adalah, oleh karena Dia adalah Kasih, Tuhan menyelamatkan dan memberi harapan serta anugerah.

Mari bongkar gudang sedikit, buka memori pelajaran struktur kalimat Bahasa Indonesia.

Segala meN- meN- meN- yang disebutkan di atas kita kenal sebagai kata kerja. Dalam kalimat, biasanya, kata kerja akan menempati fungsi sintaksis “predikat” atau “P”. Predikat adalah unsur yang harus ada dalam sebuah kalimat baku Bahasa Indonesia bersama dengan “subjek” atau “S”. Definisi umum dari subjek adalah “pelaku” sedangkan predikat yang kebanyakan adalah kata kerja dan atau frasa verbal seringkali menunjukkan “tindakan yang dilakukan oleh subjek”.

Kesaksian yang di dalamnya terdiri atas kalimat-kalimat ujaran, seharusnya mempunyai predikat-predikat berupa kata kerja-kata kerja yang yang menunjukkan apa yang sudah dilakukan oleh si Pelaku sebagai Subjek di dalamnya. Orang yang bersaksi adalah pembicara yang oleh karena melihat, mendengar, merasakan, atau mengalami “tindakan si Pelaku” baik secara pribadi maupun dari orang lain, kemudian membagikannya dengan harapan nama si Pelaku semakin dimuliakan.

Tidak ada yang salah ketika bersaksi tentang kebaikan Tuhan melalui berkat yang Ia berikan, namun jadinya khilaf kalau kebesaran Tuhan yang disiarkan hanya tentang Ia yang memberi ini dan itu.

Jadi, sekalian mengingat kembali pelajaran struktur kalimat Bahasa Indonesia, mari kita praktik membuat kalimat-kalimat dengan menggunakan kata kerja-kata kerja yang mengungkapkan semua pekerjaan Tuhan selama kita hidup di dunia ini:

menasehati; mengajari; menegur; melihat; mengijinkan; mendengar; berjanji; menyertai; mengutus; menolong; menyembuhkan; menyelamatkan; mengampuni; menguatkan; dan seterusnya …

Lalu pada akhirnya kita bisa melakukan apa yang Yesus perintahkan kepada seorang Gerasa yang baru disembuhkan dari kerasukan setan Legion:

“Pulanglah ke rumahmu dan ceritakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah kepadamu.” (Lukas 8:39)

Selamat menyambut Natal buat yang sudah libur maupun yang masih akan kerja atau sekolah.

Ingat, yang kita sambut adalah Dia yang akan lahir di dunia, bukan si topi merah yang bagi-bagi hadiah.

Catatan kaki:

  1. meN- adalah cara penulisan awalan meng- yang mempunyai 6 varian ketika membentuk kata kerja aktif, yaitu men-, meng-, menge-, me-, meny-, dan mem-. ↩︎

Pertemanan Bisa Langgeng, Tapi Masanya Akan Berhenti atau Berganti

Wulan kirim WA. “November pulang. Si Nur menikah.”

Sudah tahu. Yang kubelum tahu adalah bagaimana caranya agar bisa datang.

Sedih. Bahkan untuk pernikahan si Nur pun sudah 99 persen tidak bisa datang. Sejak menginjakkan kaki di Papua lima tahun lalu, sekian banyak pernikahan teman baik telah kulewatkan. Ikut senang melihat foto-foto di media sosial sekaligus bersusah hati tak bisa hadir di momen bahagia mereka yang biasanya juga jadi ajang reuni kecil dengan teman lama. “Umpama, tanganku dadi suwiwi …”

Ku tidak menyangka bahwa pilihan coba-coba lima tahun lalu membawaku pada pilihan hidup yang ongkosnya adalah masa lalu dan kebiasaan lama, yang setiap hari dihidupi dan dirawat tapi sesekali goyah karena rindu keluarga dan teman-teman yang ajaib nan lucu: Wulan, Nur, Komansu, Komodo, Sipace, Syahri, Dewantoro, Sasindo, The Blimhorn, Regu Koncil, Grup Santun, STMJ, KPP Merto, Herli teman SMP yang sempat hilang lalu kembali, keluarga Salam—khususnya ibu-ibu fasil SMP di kala itu—, Bryan dan Pak Mulyono yang akibat pergaulan dengan mereka berdua ku jadi ikut les menari gaya Jogja dan jualan cakar-bongkar (awul-awul) setiap minggu pagi, sampai-sampai kamar kos menjadi gudang pakaian obral lengkap dengan tenda lapaknya.

Kehidupan berjalan terus dan sesekali saja mendengar kabar bahwa si ini sekarang di sini, si anu sudah jadi begitu, si A pedhot, si B balen, kalau C sudah tidak tahu kabarnya, kalau D ngena-ngene wae. Ada juga beberapa berita duka yang mengiris: beberapa temanku yang sudah tiada dan Niam yang melepas kepergian istri terkasih untuk selamanya. Damailah di surga, damailah di bumi.

Setiap kali mendengar ada teman yang mau menikah, ku selalu ternostalgia mengingat momen-momen berharga dengan teman tersebut yang hampir pasti tidak akan terulang lagi. Apalagi si Nur, yang persahabatan dengannya menjadikanku terlihat sebagai laki-laki paling menyedihkan sekampus karena orang pikir ku sedang kejar cinta yang tidak pernah kesampaian, terjebak friendzone dan keduluan kakak angkatan. Semua bermula dari mulut Alhud. Oleh karena determinasi dan daya jelajahnya yang kuat, orang jadi lebih percaya kepadanya dan segala usahaku untuk menyangkal gosip tersebut adalah adalah sia-sia.

Tambah lagi si Nur yang dengan mudah menjadi idola sejak tahun pertama jadi mahasiswa: menarik, main musik, nyanyi, dan aktif organisasi. Mungkin akan aneh jika ada laki-laki yang dekat dengannya hanya berniat sebagai teman saja. Paling masuk akal, ditambah dengan penyedap ekstra dari Alhud, adalah Angga “hanya bisa” jadi teman Nur saja. Tidak bisa lebih. Tidak ada kemungkinan sebaliknya karena Nur selalu punya pacar sedangkan Angga tidak. 

Nur adalah salah satu teman terbaik yang pernah ada dalam hidupku. Kami sejurusan tapi pertemanan kami lebih dipupuk ketika ben-benan, kerja kepanitiaan, dan dolan serta curhat-curhatan. Pernah waktu KKN-PPL selama dua bulan di Pulau Selaru, ku merasa homesick dan rindu pada Nur yang lagi di Gunungkidul. Tak disangka, malah Nur yang mengirim pesan duluan dan mengungkapkan hal yang sama. Melonjak girang lah hati ini. Pertemanan bisa membuat serindu itu. Bahkan lebih mengagetkan lagi, dari Lombok, Si Komodo-Komodo Teman Baikku juga kirim layang kangen. Jadi terharu. Dia sekarang sudah beristri dan beranak satu. Berbahagialah, Kuh.

Dulu kupakai lagu “You’re My Best Friend”-nya Queen untuk menggambarkan pertemanan dengan Nur. Namun setelah kutahu lagu itu ditulis John Deacon untuk istrinya yang ia gambarkan sebagai “best friend”, ku tidak akan pakai lagi. Nur akan menjadi best friend untuk calon suaminya, Mas Ik. Selamat bersiap-siap, berbahagialah kalian. Dukungan doa dari Papua melayang-layang dan menyeberang lautan sampai ke Malang.

Pernikahan seorang teman bagiku seperti penanda berakhirnya sebuah masa. Ada yang tidak mungkin dan tidak bisa dilakukan bersama lagi. Sedih kalau melihat dari sudut pandang itu. Jadi ingat si Wulan yang dekat-dekat waktu keberangkatanku ke Papua pernah bilang, “Sedih ya nanti kalau sudah pada lulus, pada nikah, jadi gak bisa main-main ke kontrakan lagi.” Si Wulan emang paling hobi nongkrong di kosan atau di kontrakan teman. Kutanggapi dengan geleng-geleng, “Masakan kalau sudah berkeluarga masih tinggal di kontrakan sama teman …” Kami lantas tertawa menyadari masa hihi-haha yang segera menemui ujungnya.

Bersama ini, ku juga hendak mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang selama ini sering berkunjung di blog dan membaca tulisanku. Bagiku itu sebuah dukungan yang tak ternilai. Kuanggap kalian sedang bertamu. Ada kopi tapi kuminum sendiri. Yang kusajikan buat kalian adalah buah pikiran sehabis srupat-sruput arabika Papua favoritku.

Ini, seadanya ya, tapi ku janji semakin hari tambah sedap lagi.

Begini Rupanya Terlatih Tak Berdaya

Saipul (bukan nama sebenarnya), bekerja serabutan sebagai kuli bangunan. Usianya tiga puluhan awal, lajang, tinggal dengan orangtua dan penghasilannya yang tidak tentu itu selalu berakhir pada rokok dan pulsa data. Saipul sangat menikmati waktu istirahat ngopi di sela-sela kerjanya. Selain dapat menyeruput kopi dan menggigit gorengan kalau yang kasih kerja berbaik hati, Saipul bisa mengisap rokoknya sambil scrolling dan cek notifikasi. Bisa terbayangkan kalau waktu petang sehabis makan di hari-hari ia punya pekerjaan adalah waktu terbaiknya: ada lelah yang dilepaskan, ada uang di tangan yang artinya ada rokok dan segelas kopi instan. Gorengan? Bolehlah, kalau ada sisa dari emaknya jualan.

“Apalah itu harta kalau hanya menimbulkan prahara keluarga? Mending kayak saya, tidak punya apa-apa,” kata Saipul mengomentari berita selebritis rebutan harta warisan di televisi.

Hidup Saipul bergantung pada orangtuanya yang bekerja sebagai tukang panggilan dan jual gorengan. Mereka hidup di rumah kontrakan yang beberapa kali harus dibayar dengan utang koperasi yang bunganya cukup mencekik. Mereka akrab dengan situasi “gali-tutup lubang” selama lebih dari 20 tahun. Harapan seperti apa yang tersedia bagi mereka di masa depan?

Kenal beberapa orang dengan situasi seperti ini?

Dalam buku Grit, Steve Maier, ahli psikologi dan neuroscience mengatakan kepada Angela Duckworth bahwa ia khawatir anak-anak yang hidup dalam kemiskinan akan mengalami apa yang disebut dengan “learned helplessness”. Secara bebas, “learned helplessness” saya terjemahkan sebagai situasi ketidakberdayaan atau ketidakmampuan yang “tidak sengaja dilatih” secara terus-menerus. Maier menambahkan kalau anak-anak yang hidup dalam kemiskinan akan mengalami banyak situasi yang sangat sulit tanpa mendapatkan cukup pengalaman berhasil keluar dari situasi-situasi sulit tersebut. Anak-anak tersebut kemudian “terlatih” untuk pasrah terhadap situasi sedangkan menurut Maier, mereka seharusnya belajar bahwa “kalau saya melakukan sesuatu, maka sesuatu (perubahan) akan terjadi.”

Ketika mengenal Saipul dengan kisah hidupnya, saya teringat tentang learned helplessness. Akan tetapi saya juga menyadari kebiasaan lama saya yang sebenarnya bisa saja membawa saya ke situasi yang sama. Waktu masih kuliah saya menikmati masa “habiskan uang saku mingguan.” Kalau hari Jumat masih tersisa sedikit uang, berarti bisa beli rokok setengah sampai satu bungkus untuk ngebul Sabtu-Minggu sebelum hari Senin dapat uang saku lagi untuk minggu berikutnya. Menabung? Kalau ada uang logam baru disimpan. Nanti kalau sudah terkumpul banyak, ditukar di kios lalu uangnya buat beli rokok lagi.

Kini berada di tempat yang dinilai termiskin di Indonesia, saya melihat secara nyata learned helplessness dalam beberapa bentuk. Saya menjadi sadar bahwa apa yang disebut “kemiskinan” itu lebih dari sekadar situasi tidak mempunyai cukup materi, namun situasi mental yang membentuk kebiasaan dan cara pandang terhadap uang sebagai pendukung aktivitas ekonomi dan sosial. Dan mental serta cara pandang tersebut, sedihnya, tidak sengaja terlatih dan jadi kebiasaan. Saya pun melihat bahwa sesuatu yang gratis bisa punya andil besar untuk memperparah keadaan, yaitu dengan menegaskan kepada si miskin bahwa “saya miskin, saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mendapatkan bantuan uang tunai atau sesuatu yang serba gratis. Jadi, baiknya saya menunggu. Kalau tidak dapat, saya akan menuntut karena saya miskin dan saya berhak mendapatkan bantuan dan gratisan.”

Lalu apa yang bisa kita buat?

Pernah baca komik Sinchan? Di salah satu adegan dalam komik itu (lupa volume berapa), ceritanya ada seorang bapak yang bingung celingukan di tengah jalan. Sinchan yang melihat bapak itu kemudian tergerak hatinya untuk menolong. Segera ia berdiri di sampingnya lalu ikut celingukan. Si bapak tambah bingung lalu bertanya kepada Sinchan. Dialognya kira-kira begini:

Si Bapak  : “Sedang apa kamu di sini?”

Sinchan                : “Saya melihat Bapak sedang bingung, jadi saya bantu bingung.”

                Saya masih tergelitik mengingat kekonyolan Sinchan. Tapi, baru ketika menulis ini saya sadar bahwa Sinchan sebenarnya melakukannya secara tulus dan serius: membantu orang yang bingung dengan ikut bingung. Makanya ia serius ikut celingukan. Mungkin itu yang sedang saya lakukan melalui tulisan ini, yaitu menemanimu bingung ketika dihadapkan dengan perkara yang saya utarakan di atas. Tapi, saya serius!

Hanya saja, sebagai mantan mahasiswa, saya coba selangkah lebih maju dari Sinchan yang jadi anak TK bertahun-tahun. Pertama, saya ingin mengajak untuk sadar. Kesadaran ketika kita berada dalam situasi sulit, kita punya dua pilihan: berlatih untuk menjadi tidak berdaya atau berlatih untuk mencari jalan keluar dan mengatasi masalah. Termasuk didalamnya adalah menyadari bahwa dalam suatu masalah kita perlu belajar untuk mengambil tanggung jawab sepenuhnya. Bantuan adalah opsi jika tersedia atau sebuah bonus atau sebuah anugerah. Bantuan bukanlah hal wajib yang kita bisa tuntut untuk terima. Jangan sampai kita terlatih untuk “kita yang salah, orang lain (orangtua, keluarga, pemerintah) yang tanggung.”

Berikutnya, ada sedikit tips keuangan dari seorang yang hidup juga masih pas-pasan, yaitu menabunglah! Sekian lama saya percaya bahwa uang saku itu untuk dihabiskan, kalau ada sisa baru ditabung. Keliru! Tabungan itu bukan uang sisa. Tabungan perlu direncanakan bahkan dari hari pertama ketika terima gaji atau terima uang saku. Saran kepada para orangtua, bilang ke anakmu: “Ini uang sakumu, sekian ini harus ditabung. Boleh lebih, kurang jangan.”

Kalau hanya bisa menabung sedikit karena banyaknya tanggungan, tidak masalah. Tetap lakukan. Memang tidak terasa ketika baru mulai, tapi percayalah, setelah beberapa bulan berikutnya ada perasaan lega dan bangga melihat ada sekian rupiah yang tersimpan. Ini akan meningkatkan kepercayaan diri. Nah, nantinya bisa naik level dengan investasi, yang tidak bodong tentunya. Hindari pinjol atau pinjaman lain-lain yang semakin dimudahkan prosesnya namun mencekik di bulan-bulan berikutnya. Hati-hati ya, iklan-iklannya telah merajalela di dunia maya.

Terakhir, dalam The Twelve Steps of Alcoholics Anonymous, langkah pamungkas nan paling penting bagi seorang pecandu untuk bebas lepas dari alkohol adalah membantu pecandu lainnya. Diibaratkan kecanduan, learned helplessness dalam segala bentuk dapat diatasi dengan beberapa langkah dan sama, langkah terakhir adalah membantu orang lain alias berbagi. Berbagi seperti seseorang yang mengupayakan segalanya untuk orang yang dikasihinya. Berbagi adalah bentuk kasih, dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri adalah Perintah Kedua setelah Perintah Utama untuk mengasihi Tuhan.

Materi dan waktu adalah dua hal berharga yang bisa kita bagi kepada orang lain. Seseorang bisa berjuang dengan mengorbankan waktunya untuk mengantri sejam lebih demi mengasihi diri sendiri, yaitu membeli es krim dan es teh boba yang lagi viral di kota.

Mengantri lama dan panjang demi es krim dan teh boba viral adalah bentuk pengamalan nilai rela berkorban untuk diri sendiri. (Sumber: Pencarian Google)

Bisakah kita mengorbankan waktu dan materi, yang jauh lebih berarti dari sekedar antri dan beli eskrim atau es teh boba, yaitu untuk berbagi dengan orang lain?

Bisa!

Don’t be helpless!

Sumber Featured Image:

Bukan Sekadar Rayuan, Tetapi Komitmen Merawat Kedamaian

“And for me, that is the true meaning of peace. When your heart is full of joy, when you are capable of having a family and fighting for it, it doesn’t matter what is going on around you, because with peace you have overcome all difficulties.” – Paulo Coelho, The Meaning of Peace

Dua minggu lalu, di tengah pergumulan antara menjemur cucian atau meninggalkannya di bak karena cuaca tidak cerah-cerah amat, saya baca tulisan terbaru Ardha. Kawan KKN, les tari sekaligus partner jualan awul-awul saya ini bercerita tentang tahun pertama pernikahannya. Reflektif dan menggelitik. Dia menjudulinya “Laporan Monitoring dan Evaluasi Pernikahan Periode 2022-2023”

Terasa segar, hangat, dan dekat. Sangat berarti bagi saya yang sedang mengalami dan menyaksikan sederetan situasi tidak mengenakkan akhir-akhir ini. Pada pagi yang sama, beberapa saat sebelum menemukan tulisan Ardha, seorang suami menghajar keras istrinya di jalan depan rumah. Sesaat setelahnya kudengar berita viral tentang seorang suami yang melempar istrinya ke laut dalam penyeberangan Merak-Bakaheuni.

Sementara dalam minggu-minggu sebelumnya,

Kantor sekolah saya dibakar, satu rekan guru dan satu murid mendapatkan gangguan dan ancaman yang sangat traumatis. Ketiganya dilakukan dengan cara yang sama pengecutnya: diam-diam lalu lari. Seketika kedamaian sekolah kami memudar digantikan rasa was-was seperti saat melihat orang asing di sekitar atau mendengar anjing sekolah menggonggong lama pada malam hari. Tanpa kedamaian, sekolah kami tidak bisa jalan. Maka, kami menutup sekolah sementara sambil mengurus ini itu dengan harapan kedamaian itu bisa kami dapatkan kembali.

Kami bertanya-tanya,

Kemana kedamaian itu? Mengapa tidak lagi terasa aman dan nyaman di sekitar kami?

Saya yakin bahwa membaca tulisan Ardha setelah menemukannya di Instagram pagi itu—setelah cukup lama sengaja tidak main Instagram—bukanlah suatu kebetulan. Ada perasaan damai di tengah peristiwa-peristiwa tidak mengenakkan yang sedang terjadi di sekitar kami. Ada harapan bahwa kedamaian tidak kemana-mana meskipun terkadang terasa jutaan kilometer jauhnya.

Ardha, kawan yang punya bagian penting dalam hidup saya—dan akan tetap penting meskipun ia berada di jalur negeri sedangkan saya di jalur swasta :D—mengingatkan bahwa kedamaian itu dimulai dari  komitmen suami dan istri untuk saling mengasihi dalam segala situasi. Selanjutnya, komitmen untuk menjadi ayah dan ibu yang mengasihi anak-anaknya dengan cukup serta mengantarkan mereka menjadi dewasa tanpa memanjakan dan tanpa kekerasan.

Kedamaian itu dimulai dari rumah, dari keluarga.

Sayangnya, kita juga sering mendengar bahwa keluarga menjadi tempat untuk berkembangbiaknya sakit hati, kebencian, perasaan ditinggalkan, pengkhianatan, perpecahan, trauma dan kekerasaan. Saya pun merasakan bagaimana kerasnya usaha bapak, mamak, saya dan kedua saudara saya untuk tetap bertahan dan bersatu di tengah badai kehidupan yang beberapa kali bisa saja menghempaskan keluarga kami sampai hancur.

Kita bisa menduga dampak keluarga yang tidak damai bagi setiap anggotanya. Kita bisa menemukan berita, laporan, dan berbagai bentuk informasi tentang akibat dari keluarga yang hancur. Sebagai guru, saya menemukan beberapa murid saya yang setengah mati bertahan di sekolah, hidup dalam tantangan besar dalam keluarganya.

Ini sempat membuat saya takut.

Mungkin juga sudah ada orang-orang yang memutuskan untuk tidak berkeluarga dengan tujuan untuk menghindari tantangan-tantangan hidup berkeluarga.

Seorang politisi pernah mengatakan kalau seseorang mendambakan dunia politik yang bersih, dia perlu bergabung di dunia politik dan membersihkan kekotorannya.

Pasti sangat berat tugas itu.

Sudah banyak berita tentang kegagalan dan kehancuran keluarga, tapi saya masih mendambakan keluarga yang baik. Jadi, saya ingin bergabung dengan Ardha dan jutaan lainnya yang masih punya harapan untuk membina keluarga yang bahagia.

Pasti kita akan membuat salah. Pasti akan ada konflik. Pasti akan ada marah. Ardha bilang, bahkan di tengah suasana yang syahdu, di atas kasur, dalam temaram cahaya di kamar, obrolan suami-istri yang hangat pun bisa berubah menjadi jadi menjengkelkan dan memicu terjadinya konflik.

Akan tetapi,

selagi kita masih geleng-geleng kepala mendengar berita seorang suami mau melemparkan istrinya ke laut,

selagi kita masih mengelus dada mendengar cerita seorang suami tega memukul istrinya,

selagi kita masih membenci kabar dan berita tentang kekerasan dalam keluarga yang terjadi di mana-mana, kita bisa menyadari dan mengakui bahwa masing-masing dari kita juga punya potensi untuk melakukan hal yang sama. Saya sedih, tapi saya juga salah satunya.

Jadi, sangat penting untuk kita—dari yang sudah berkeluarga, masih pacaran, sampai yang masih dalam masa pencarian (atau yang berharap dicariin)—mengambil komitmen dari sekarang untuk tidak melakukan kekerasan sebagai pilihan ketika ada yang berbuat salah, ketika ada konflik, dan ketika ada marah.

Saya belum menikah dan masih menjalani hubungan yang serius dengan segala keindahannya, yang termasuk di dalamnya adalah membuat kesalahan, konflik, dan saling marah. Saya menyadari betul bagaimana pilihan respon yang salah terhadap suatu masalah dapat mencabik-cabik hubungan kami. Saya harus selalu mengingat dan diingatkan bahwa kesalahan, konflik, dan marah itu hal yang pasti akan terjadi tetapi saya punya pilihan respon yang masing-masing membawa ke jalur yang berbeda.

Saya ingin setia pilih jalur kasih. Di situ ada pemaafan dan pemulihan hubungan. 

Ketika menyaksikan konflik antara orangtua saya dulu, saya berpikir bahwa kalau saja bapak saya melakukan ini daripada itu atau kalau saja mamak saya mengatakan ini daripada itu, pasti konflik akan diselesaikan dengan lebih baik. Ternyata itu tidak semudah perkiraan saya.

Jalur kasih membutuhkan usaha, waktu, dan kerja sama. Jalur kekerasan cukup sekejap saja dan menghancurkan semua. Jalur kasih itu memelihara kesabaran, kemurahan hati, pengharapan, pengampunan, perjuangan, kepercayaan, dan kerendahan hati. Jauh berbeda dengan jalur kekerasan yang dengan usaha sedikit saja sudah cukup untuk mengobarkan api untuk menghanguskan segalanya.

Semoga Teman-Teman dalam situasi damai. Jika sedang tidak, mintalah pada Yang Punya dan selalu mengusahakannya setiap hari. Saya turut bersamamu.

Terakhir, bulan lalu di hari Valentine, saya diingatkan bahwa jauh lebih mudah untuk menunjukkan kasih pada hari itu saja, tapi perlu usaha dan komitmen untuk mengasihi orang-orang yang penting dalam kehidupan kita setiap hari.

Untuk kekasih, saya buatkan sebuah lagu. Dari jarak ratusan kilometer saya nyanyikan untuknya. Pada bagian reff, saya ulang-ulang,

“I love you every day.”

Itu adalah bentuk komitmen dengan sedikit kandungan rayuan di dalamnya.

Saya percaya bahwa kita bisa mulai mengusahakan kedamaian dengan mengungkapkan hal yang sama kepada orang-orang terdekat kita, keluarga dan orang-orang terkasih lainnya.

Katakanlah,

“Saya mengasihimu setiap hari.”

Lalu mulai menghidupinya sejak detik itu juga.

“Coba Kalau Waktu Itu Adam Mau Mengakui Kesalahannya … ” Kata Pak Dokter Gigi.

Pak Dokter Gigi yang baik pada akhir perjumpaan mengatakan padaku, “Coba kalau Adam waktu itu mau mengakui kesalahannya, mungkin akan berbeda ceritanya.”

Tak ingat apa yang membawa obrolan kami ke situ tapi apa yang pak dokter katakan itu kubawa pulang dan tertinggal di kepala selain kenyataan bahwa gigi paling belakangku tumbuh miring dan harus dioperasi.

Iya, ya. Coba kalau waktu itu Adam mengakui kesalahannya. Apa yang akan terjadi?

Aku lantas terdorong untuk melihat lagi apa yang terjadi waktu itu. Adam dan Hawa, sepasang manusia yang diciptakan Tuhan serupa dengan gambarnya, sedang bekerja—ya bekerja, tidak hanya bersantai-santai atau piknik— di Eden; bahasa Alkitabnya mengusahakan dan memelihara taman itu (Kejadian 2:15). Lalu ular yang kubayangkan seperti seseorang yang tak peduli dengan jam kerjamu, datang dan menyergap dengan gosip terbaru, mungkin dengan, “Hei denger-denger …” atau “Hei, kamu tahu nggak, kalau…

Dalam kasus Adam dan Hawa, si ular berkata, “Hei, denger-denger, Allah melarangmu makan semua buah di sini yak?”

Hawa yang tidak menyadari jebakan si ular menjawab kalau semua buah boleh dimakan kecuali satu yang ada di tengah-tengah taman. Diraba pun jangan karena bisa mati akibatnya.

Lalu si ular pun melancarkan jurus berikutnya, “Hei, kamu tahu nggak, kalau kamu tidak akan mati malah sebenarnya makan buah itu bisa bikin kamu jadi seperti Allah dan …,” kita pun tahu kelanjutan ceritanya: Hawa memakannya dan Adam juga diberinya sehingga Adam ikut makan.

Lalu Tuhan datang, dan beginilah yang tertulis,

Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: ‘Di manakah engkau?’ Ia menjawab: ‘Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.’

Firman-Nya: ‘Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?’

Manusia itu menjawab: ‘Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.’”

Kejadian 3:9-12:

Lalu apakah benar itu semua kesalahan si perempuan yang mau diperdaya oleh si ular?

Baru setelah aku berstatus sebagai guru—beberapa tahun setelah selesai status pelajarku— kumengerti bahwa ada ayat yang tak pernah kubaca, dibacakan, atau diajarkan kepadaku tentang apa yang sebenarnya terjadi. Berikut akan kubagi apa yang telah kupelajari sehingga terbuka mataku:

Kembali ke Kejadian 2:15. Allah baru menciptakan satu manusia saja: Adam.

“TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”

Jadi jelas, bahwa Adam, si manusia pertama, ditempatkan di Eden untuk mengusahakan dan memeliharanya. Dia si penanggung jawab taman itu.

Manusia perempuan, Hawa,  baru diciptakan 6 ayat setelahnya.

Lalu pada saat peristiwa manusia jatuh dalam dosa, apa yang sebenarnya terjadi? Perhatikan ayat berikut ini:

“Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya.”

(Kejadian 3:6)

Jadi di mana suaminya, si manusia pertama, si adam, si penanggung jawab taman Eden itu? Ia sedang pergi ke tempat lain? Tidak. Ia bersama-sama dengan Hawa, dan membiarkan si ular itu datang, membiarkan isterinya diperdaya, ikut makan buah yang dilarang oleh Allah untuk dimakan, lalu … menyalahkan isterinya atas kelalaian yang dibuatnya.

“ … perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku … maka kumakan”

Pak Dokter gigi yang baik, terima kasih atas pelayananmu. Yang kusaksikan dan kurasakan adalah menjadi dokter gigi merupakan panggilanmu, lebih dari sekadar mencari upah sehari-hari. Tuhan bekerja melalui melalui tanganmu, matamu, bicaramu, dan segala yang Pak Dokter kerjakan. Tidak kumengerti apa hubungan antara gigi belakang yang tumbuh miring dan hubunganku dengan orang yang kucintai, atau dengan Adam yang tidak mengakui kesalahannya malah menyalahkan Hawa, isterinya.

Pak Dokter, apa yang Pak Dokter bilang telah membawaku ke dalam perenungan. Setiap manusia ternyata mempunyai reaksi alami untuk tidak mengakui kesalahan yang dibuatnya. Demikian juga yang terjadi padaku. Berapa banyak kesalahan yang tidak kuakui? Berapa banyak yang tidak diketahui orang tapi pasti diketahui Tuhan? Berapa banyak yang diketahui namun tidak kuakui lalu menyalahkan orang lain? Berapa kali aku ‘selamat’ dengan menyalahkan orang lain?

Sepertinya, reaksi alamiah manusia untuk tidak mau disalahkan itulah yang menjadikan “dipaksa dulu baru ngaku” sebagai hal yang biasa. Tidak hanya dalam kasus pidana, namun juga dalam kehidupan sehari-hari, atau dalam hubungan dengan Tuhan.

Tuhan pun sepertinya mengijinkanku untuk membandel dan mengalami keadaan ‘terpaksa’ sehingga kusadar telah berjalan menjauhinya. Ketika rasa damai memudar, rasa takut dan khawatir lebih menguasai daripada iman yang pernah dibangun, pada saat itulah keadaan ‘terpaksa’ itu menjadi nyata.

Mohon ampun Tuhan, kuingin kembali. Kuingin hanya takut pada-Mu. Kusiap mengambil konsekuensi-konsekuensi dari keputusan-keputusan buruk yang pernah kuambil. Aku takut dengan kuasamu yang tak terbatas itu.

Lalu mengenai menyalahkan orang lain, sudah berapa pertemanan, keluarga, kelompok manusia, atau bahkan bangsa yang terpisah, terpecah, bahkan saling menyerang karena saling menyalahkan? Mungkin tidak terlalu jelas di Alkitab, tapi kita bisa bayangkan betapa sakit hatinya Hawa waktu—di hadapan Allah!—Adam menyalahkan Hawa atas kesalahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab Adam.

Ketika melihat dan mengalami hubungan antar manusia yang merenggang atau bahkan rusak karena suatu masalah; Memang, jauh lebih mudah untuk membuat daftar kesalahan yang orang lain buat daripada memeriksa seberapa banyak diri ini berkontribusi sampai masalah itu terjadi.

Kusadari, kehidupan di dunia memang ambyar, butuh Kebenaran untuk diikuti sebagai pedoman.

Kuambil komitmen untuk membaca keseluruhan Alkitab selama setahun mulai hari ini. Ada yang mau turut?

Sekali lagi, Pak Dokter Gigi yang baik, saya tidak begitu mengerti hubungan antara gigi tumbuh miring, hubungan dengan orang yang saya cintai, dan Adam yang tidak mengakui kesalahannya. Namun, dalam hubungan yang abstrak itu ada keindahan yang tersirat namun pada akhirnya nyata olehku: Pak Dokter telah melaksanakan dua hukum terutama yang disampaikan oleh Yesus Kristus, yaitu mengasihi Tuhan, dan mengasihi sesama manusia.

Apa yang Pak Dokter telah lakukan telah menginspirasi dan menguatkanku dalam memulai komitmen untuk membaca lagi Alkitabku. Terima kasih, selamat melayani dalam pekerjaanmu. Sampai jumpa lagi …

hmm …

semoga saat jumpa lagi hanya kasih bersih karang gigi, tidak cabut atau operasi 😀

Renewing My Commitment to God

“We know that the law is spiritual, but I am not. I am so human. Sin rules me as if I were its slave. I don’t understand why I act the way I do. I don’t do the good I want to do, and I do the evil I hate. And if I don’t want to do what I do, that means I agree that the law is good. But I am not really the one doing the evil. It is sin living in me that does it. Yes, I know that nothing good lives in me—I mean nothing good lives in the part of me that is not spiritual. I want to do what is good, but I don’t do it. I don’t do the good that I want to do. I do the evil that I don’t want to do. So, if I do what I don’t want to do, then I am not really the one doing it. It is the sin living in me that does it”

-Romans 7:14-20 ERV-

There was a time in my life when I was pretty confident as a Jesus follower. Not long time ago. It was two years ago when I decided to follow Jesus and to live the life that God has planned. I thought it’s going to be easy afterward. However, as I went through all the good and exciting things, all the bad and challenging things in my life, I knew it wasn’t easy to stay remain in the decision I’ve made.

I made mistake. I failed. I fell into sin. I was tempted and I gave in. I fell guilty then I regretted. I turned back and came to God, yet I did the same thing over and over. There was a time that I felt God is really far away. Now I realized, I was the one who has walked away from Him.

There was no consquence or punishment that I’ve got from human for what I’ve done secretly, yet He knew. He always knows. I’ve tried to manipulate my life and Him and eventually I ended up living miserably: living by standing on two boats. One foot in the boat called christianity and another foot in the boat called secularity. Yes, miserable. I’ve never stood still.

The consecuences then have come to my soul. Little by little I lost my confidence. I started to feel that my soul is shrinking out. I tried many times to “hide” and pretend that I was fine. I tried to fulfill my self with other things but God’s truth. Worse, I tried to comfort my self and to feel good about my self by finding resource that will approve that what I’ve experienced was normal and okay.

I’ve been living unpeacefully. I have lost. I’ve given in to a sinful life.

I need to be found again. I want to repent and change. I want to build up again everything that has been broken. I wanted to strengthen the foundation of my life: yes, the Truth. God’s word.

I want to start to commit to read through the Bible in a year. I’m longing to have close relationship with God again. I need to spend more time with Him everyday. I want to seek Him first everytime I wake up in the morning. I invite the Holy Spirit to come and take over my life and be the guide that I will follow.

Today is the first day.

I read Genesis 1-2, and Matthew 1 (I’m using an app as a guide). I got reminded that I was well created by God, Our Lord. Other creatures He made by giving commands but not for human being. When He made man and woman, He was personally involved. Then He wants us, you and me, to have relationship with Him, to honor Him, and to obey His command. He wants us to love him and love His people.

Nikmat Menjadi Guru SMA Adalah Bisa Curhat dengan Murid atau Minta Murid Mengerti Kalau, Misalnya, Sedang Patah Hati

Si Gimbal (nama samaran), salah satu kolegaku, datang menghampiri lalu bertanya, “Mas Angga, liburan bagaimana?”


Ini terjadi tiga minggu lalu saat hendak latihan musik worship. Sambil ulur-ulur kabel gitar dan mic kujawab, “Liburanku sangat seru. Penuh petualangan. Apalagi waktu naik sepeda dari Wamena ke Jayapura,”


“Aeeeee,” balasnya dengan cara khas orang sini dalam menunjukkan simpati.

Namun aku seperti menangkap bahwa Si Gimbal ingin aku lanjut cerita sedikit tapi bukan soal petualangan naik sepeda. Ia seperti ingin mendengar kabar yang lain.


Lalu tiba-tiba saja aku bilang, “Tapi ada juga hati yang terluka,”


“Aeeee,” balas Si Gimbal lagi.


Ada yang tidak biasa dari “Aeeee”-nya kali ini tapi aku balas saja dengan tertawa sedikit sambil lanjut pasang mic pada tempatnya. Saat hampir aku bilang “test mic,” Si Gimbal bilang lagi, “Sama ooo, saya juga begitu.”


Nah itu dia. Langsung kutinggalkan mic dan datang merangkulnya dari samping, lalu sama-sama bilang, “Aeeeeeee,”


Brokenhearted, ooo, Mas Anggaa, ” kata Si Gimbal sambil merangkul dan menahan gitarnya di samping.


I know that feeling. I really really do,” jawabku sambil tepuk-tepuk pundaknya. Saat itu kupastikan bahwa Si Gimbal tidak akan merasa sendiri dan aku pun juga merasa tidak sendiri dan tidak lagi merasa jadi orang paling sedih sedunia.


Kemarin sore aku lari di landasan pacu Bandara Bokondini. Yoi, di sini tempat paling oke buat lari adalah landasan pacu bandara! Saat sedang lari dengan ngos-ngosan karena semangat usia belasan padahal kenyataan sudah dua delapan, salah seorang murid SMA-ku muncul. Aku pun berlari di sampingnya. Setelah haha-hihi sana-sini, dia bilang,


“Kak Angga, saya mau cerita, bisa?” Dia memanggilku ‘Kak’ bukan ‘Uncle’ seperti kalau sedang di kelas. Terasa lebih dekat tentu saja dan rasa dekat ini sangat perlu untuk menceritakan sesuatu yang penting baginya.


“Tentu saja,” jawabku.


Lalu berceritalah dia tentang sesuatu yang sudah kutebak. Aku sudah tahu bahwa dia akan bercerita tentang rasa tertariknya yang tidak terungkapkan terhadap salah satu teman perempuan di sekolah dan bagaimana perasaan itu telah membuatnya kalut: sering merasa tidak jadi diri sendiri atau saat di kelas, mendengarkan guru seperti menyaksikan siaran tidak penting di televisi. Takut, khawatir, dan ingin melarikan diri katanya.


Sambil memastikan bahwa langkahku tepat di samping langkahnya berlari, kubilang, “Saya tahu yang kamu rasakan. Saya sangat tahu. Kamu tentunya masih ingat semester lalu saat di tengah-tengah mengajar, saya bilang di depan kelas bahwa hari itu saya butuh bantuan kalian untuk mengerti karena saya sedang merasa kacau sekali. Apa yang saya alami saat itu sepertinya kurang lebih sama dengan apa yang kamu alami saat ini. Kamu tidak sendiri.”


Sambil masih berlari tapi lebih pelan, karena sudah lebih fokus pada bahan pembicaraan, kuselingi sebuah candaan tentang salah satu nikmat yang diperoleh sebagai guru SMA yaitu bisa meminta murid untuk mengerti ketika diri sedang patah hati. Coba guru TK, mana bisa?
Kami tertawa. Aku sendiri tidak mampu membayangkan aku jadi guru TK. Dulu waktu KKN dan (terpaksa) mengajar kelas 1 saja ada anak yang kuajak berkelahi. Apa jadinya kalau mengajar TK? Bisa jadi akan kubawa obat bius setiap hari. Entah anak-anak yang kubius atau aku yang membius diri. Salut sama guru-guru TK!


Aku tahu aturan dan harapan sekolah kami tentang anak SMA yang mempunyai rasa tertarik terhadap lawan jenis. Namun, sore itu sepertinya bukan waktu tepat untuk membicarakannya. Aku lebih banyak mendengarkan sambil kadang-kadang merespon dan saat dia memintaku memberi respon yang lebih, kubilang,


“Pada saat-saat seperti ini, rawan sekali terjebak dalam pikiran victim, seperti merasa diri tidak berarti karena tidak mendapat perhatian atau pengakuan dari orang yang kita sukai. Saya tidak sedang menasehati, tapi sedang menceritakan pengalaman yang pernah terjadi pada saya sendiri, berkali-kali, hehehe.”


“Aeeeee, itu sudah,” katanya.


Aku melanjutkan, “Saat pikiran victim itu datang, saya bisa jadi berpikir mungkin saya kurang ganteng kah, atau gaya rambut kurang keren kah atau kumis kurang stylish 😁 sampai kemudian menarik diri dari orang-orang, lalu menyendiri, dan akhirnya merasa sendiri. Inilah yang berbahaya: merasa sendiri dan tidak berarti! Padahal ini adalah tipu, karena meskipun orang yang kita sukai bisa dipakai untuk menunjukkan bahwa hidup kita berarti, bukan dari orang tersebutlah arti kehidupan kita berasal.”


Kudengar “Aeeee” lagi, dan kutahu inilah saatnya memberi penguatan, “Well, apapun rencanamu nanti terhadap perasaanmu ini, kasih tahu saya e. Sekarang, saya mau pastikan kalau kamu tahu kamu tidak sendiri. Dan kalau kamu merasa berada pada situasi yang seperti di luar kendali, kamu bisa berdoa seperti ini:


God, You know,
You already know …
… apa yang ada di hati saya, situasi yang saya alami.
Namun, kehendak-Mu lah yang terjadi.
Dan kalau itu tidak sejalan dengan keinginan saya saat ini,
kuatkan atau ubahlah hati saya agar sepenuhnya mendukung rencana-Mu.”


Tidak terasa 4 kali setengah putaran landasan pacu kami lalui. Mungkin setara dua kilometer. Lalu untuk menutup sore itu, sama seperti tiga minggu sebelumnya saat selesai latihan musik worship bersama Si Gimbal, kucuplik lagunya Hillsong United, ‘Good Grace’

Don’t let your heart be troubled
Hold your head up high
Don’t fear no evil
Fix your eyes on this one truth
God is madly in love with you
Take courage, hold on, be strong
Remember where our help comes from


Jadi, kami pun sepakat untuk take courage, hold on, dan be strong. Kami tahu melarikan diri bukanlah jawaban, melainkan menghadapinya dengan pertolongan dari Tuhan.

Bonus:
Lalu soal berjuang untuk hati seseorang, bagaimana?
Ya kalau itu kehendak Tuhan, pasti kuperjuangkan, to. Kalau bukan kehendak-Nya, aku bisa apa? Masa mau melawan kehendak Tuhan?

Featured image by Anastsia Lamia

Ketika “Berjuang” Sedang Tidak Relevan karena Terlalu “Menyerang”, maka Bertahan Adalah Pilihan.

Kemarin kubuat samsak, berbahan beberapa genggam batu dilapis bantal bekas, serbuk kayu dan karung beras lalu kugantungkan di ruang bekas dapur yang lama tidak terpakai dan telah ditumbuhi tanaman merambat. Tujuannya satu: ada sesuatu dalam diri yang tak menentu dan tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya selain lewat tinju.


Ini adalah cara kesekian setelah kulakukan hal-hal lain yang kukira dapat membuatku mengatasinya. Kupikir membelah kayu bakar akan turut membelah sesuatu dalam diri sampai kubisa menemukan sumber masalahnya. Tidak, meskipun saat melakukannya aku merasa “laki” dan hidup. Namun, setelah capek dan istirahat, emosi yang entah apa itu datang lagi. Kupikir berkebun dan menanam benih-benih buncis, tomat, cabe dan pakcoi akan membuat semangatku kembali. Namun, seiring dengan layunya bibit-bibit tomat dan cabe yang kutanam dan tercampaknya tunas-tunas pakcoi karena salah paham, layu dan tercampak jugalah semangat juang yang kugadang-gadang. Ada yang tidak beres di dalam diri ini, but I can’t put my finger on it.


Minggu lalu, seorang murid datang padaku minta diajari nggitari lagu “Seperti Rusa Rindu Sunga-Mu” lima belas menit sebelum ia mengajarkan lagu itu kepada teman-temannya di klub gitar beginner-nya. Di sela-sela main, kutanya, “Kamu pernah merasa hilang semangat?”


“Sekarang ini sudah, Uncle. Ada teman-teman juga begitu. Kami macam rasa mau menyerah,” jawabnya dengan semangat yang aneh sambil lihat-lihat jam tangannya karena ia tahu waktunya segera tiba untuk memimpin klub gitar kesayangannya.


“Kita perlu berbagi, namun sekarang kamu tidak ada waktu,”


“Besok saja sudah, waktu makan siang.”


“Siap,” jawabku ditutup dengan “enjoy your club!” yang tak sungguh-sungguh karena aku akan iri kalau dia benar-benar enjoy dengan klubnya sementara aku digerogoti virus setengah hati.


Esoknya,selama makan siang, kami berbagi tentang keadaan hati yang sedang kami alami. Anak kelas 10 yang selama ini kukenal sebagai yang terkuat dalam keteguhan hati ternyata sedang mengalami hal yang tak jauh beda dengan yang kualami. Penyebabnya katanya adalah aturan dan konsekuensi di sekolah yang semakin ketat dan juga masalah-masalah yang dialami oleh teman-teman dan adik kelasnya yang ia saksikan dalam sebulan semester baru berjalan. Kubagikan juga punyaku. Betapa semangatku anjlok dan energi mengajarku lemah setiap hari. Penyebabnya? Entah. Namun, sepertinya aku bosan dan capek mengajar.


Obrolan setengah jam itu berakhir tanpa solusi untuk masing-masing. Namun, kami sepakat bahwa keluar dari sekolah atau menyerah bukanlah solusi. Kesepakatan ini cukup menjengkelkan, setidaknya untukku, karena akhirnya meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab.
Sampai hari ini … dan mungkin itulah yang membawaku pada samsak berisi batu, bantal bekas dan serbuk kayu.


Jadi kutinju, kusikut dan kusikat samsak itu. Ada rasa marah yang bergejolak dalam setiap kepal tinju yang kulayangkan pada karung berberat sekitar 25 kilo berlabel Bulog, jenis beras dengan harga termurah di Bokondini. Hantaman-hantamanku didorong pertanyaan tak terjawab: “Kalau menyerah bukan solusi, lalu apa yang harus kulakukan? (BUM!) Hah? (BUM!) Hah? (BUM!)” Sampai pada momen ketika kepalanku mendarat pada bagian samsak yang tidak melapis batu dengan baik. Rasa linu di ujung kepalan dan nama-nama hewan yang tak terumpatkan menyadarkanku bahwa samsak dan setiap BUM BUM BUM yang kulayangkan tak akan memberi jawaban yang kubutuhkan.


Hampir setiap hari aku bergumul dengan kegelisahan ini sambil tetap melaksanakan tugas sebagai guru: mengajar, membuat rencana pembelajaran, mengoreksi tugas, membuat penilaian, ditambah dengan tugas ekstra yang bisa menguras hati, seperti berurusan dengan tindakan indisipliner anak. Bukan hal yang mudah untuk dilakukan apalagi dalam keadaan low-energy seperti saat ini.


Aku tahu bahwa ada komitmen, kepercayaan, relationship, standar, tanggung jawab dan visi yang harus diperjuangkan. Namun, kata “perjuangkan” yang bernada “menyerang” ini sepertinya sedang tidak cocok untukku sekarang. Rasanya aku sedang dalam mode “menjaga pertahanan”. Bermain bertahan untuk mendapatkan kemenangan. Meskipun jarang, hal itu mungkin terjadi, seperti Yunani yang menjuara Piala Eropa 2004. Hanya aku belum melakukannya dengan “sengaja” seperti Yunani waktu itu, dan aku belum tahu juga momen seperti apa yang akan menentukan kemenangan itu. Apakah momen itu seperti momen Traianos Dellas yang saat semifinal mencetak silver goal ke gawang Republik Ceko di menit akhir perpanjangan babak pertama atau seperti momen Angelos Charisteas di final yang mencetak gol di awal babak kedua yang menentukan kemenangan meskipun harus total bertahan setelahnya.


Sempat khawatir juga kalau terkena depresi, tapi kalaupun iya, aku tidak mau sendiri menghadapinya, dan pak guru dan ibu guru di manapun berada, kalau kalian sedang merasakan hal yang sama denganku,


I’m with you, I’m feeling you,


ingat bahwa kalian tidak sendiri, dan ingat pula bahwa aku pun belum mendapatkan solusi. Namun, menyerah bukanlah pilihan yang tepat, melainkan jalan keluar dari masalah ini untuk kemudian masuk ke masalah lain. Sepertinya ini adalah mode bertahan. Dalam mode bertahan pun kita perlu melakukan yang terbaik untuk menjaga pertahanan.


Aku di Bokondini, di tempat Covid-19 tidak memberikan dampak berarti pada sistem belajar tatap muka. Saat-saat seperti ini rasanya aku berharap bahwa aku menjadi guru di tempat di mana sekolah-sekolah belum diperbolehkan mengadakan pembelajaran tatap muka. Di tempat lain, mungkin kalian sedang kehilangan semangat sebagai guru karena kurang lebih satu tahun tidak bertatap muka dengan murid dan berharap pandemi ini segera berakhir sehingga bisa mengajar seperti biasa lagi. Atau kamu seorang guru baru dan merasa gaji sebagai guru tidak mencukupimu, atau kamu menjadi guru di daerah dengan fasilitas yang sangat terbatas, atau kamu berada di sekolah dengan anak-anak yang menguras hatimu sampai mengkilat setiap hari, atau kamu adalah guru dengan beraneka macam masalah-masalahmu …


hang in there,
Ini mode bertahan.


Dalam mode bertahan, setiap orang perlu setia dan kukuh di posisi lalu menjalankan fungsinya masing-masing. Ketika bertahan adalah keputusan, maka melakukannya pun harus dengan sungguh-sungguh, bukan karena dikontrol oleh keadaan. Ketika terpikir pilihan lain untuk diambil, perlu diingat bahwa kita bukanlah satu-satunya orang yang terkena konsekuensi atas keputusan kita. Menjengkelkan. Coba kalau aku masih kecil, aku tak perlu seribet ini untuk membuat keputusan. Tapi, sudah laki-laki dewasa nih, boys can’t always be boys.


Berada dalam mode bertahan memang tidak enak. Kadang aku pun jadi merasa tidak waras. Aku perlu memaksa diri melakukan hal lain agar pertahanan dalam diriku kuat meski terkadang pada saat yang sama hasrat untuk melakukan hal-hal itu seakan lumpuh. Ada banyak artikel dan video di internet yang siap memberi motivasi untuk melewati saat-saat seperti ini, dan yang lebih penting lagi ada orang-orang yang siap membantu atau sekadar mengawanimu melewati ini.


Aku menceritakan kegelisahanku kepada rekan guru, kepala sekolah, bahkan muridku. Belum ada jawaban yang memuaskan, namun aku senang mereka siap menjadi kawan. Hebatnya lagi mereka yang berusaha mengawaniku pun berjuang untuk sekadar mulai bertanya, “How are you doing today?” karena mukaku yang kusut dan katanya jadi lebih seram. Selain itu aku juga berolahraga karena kutahu itu adalah salah satu hal yang dapat merawat jiwa. Jadi kupilih berlatih tinju. Hanya, aku sekarang lebih sadar bahwa aku tak akan mendapatkan kelegaan apalagi jawaban atas pertanyaanku meskipun kuhajar samsak itu habis-habisan. Malah aku belajar, mungkin saat ini aku adalah si samsak tinju, yang perlu untuk tetap berada di tempatnya dan menjalankan fungsi yang ia punya. Kalau si samsak harus berada di tempatnya sebagai sasaran tinju, aku harus berada di tempatku, sebagai guru dan mengajar anak-anakku.


Si anak kelas 10 yang kuajak berbagi kegelisahan tadi namanya Marten. Selain membuat kesepakatan yang menjengkelkan itu, kami akhirnya juga saling menguatkan sebagai orang percaya, bahwa entah kapan dan bagaimana, kami akan melewati waktu seperti ini. Justru ini adalah waktu paling tepat untuk bertumbuh dalam hal mempercayakan hidup dan tujuannya kepada Yang Punya.

Meskipun …

tetap saja, menjengkelkan😅.

Kamu ada pengalaman seperti ini? Mau berbagi?



			

Dewasa dalam Iman: Memandang Tuhan Bukan Sebagai Penyedia Layanan yang Dikomplain Ketika Tidak Memuaskan

Pertanyaan ini kadang muncul di kepala, di saat suasana yang orang bilang syahdu, seperti hari ini, Natal pagi dengan hujan yang seketika membuat adem Jayapura yang biasanya gerah dan sering memaksa untuk mandi lalu gerah lagi dan ingin mandi lagi.

“Bisakah kehidupan kembali sederhana seperti saat masih kecil?”

Aku ingat cita-cita pertamaku saat usia TK, yaitu jadi supir bus malam Yogyakarta-Palembang. Dalam imajinasiku saat itu, pasti sangat menyenangkan kalau aku bisa menjadi supir bus karena aku bisa traveling setiap hari, antar kota, provinsi, bahkan antar pulau. Atau cita-cita keduaku, menjadi penjaga hutan—yang harus kukonfirmasikan kepada Mamak, apakah ada pekerjaan menjadi penjaga hutan dan dia bilang ada—lalu bersenang-senang seperti yang sempat kulakukan pada masa kecilku di kebon-kebon sekitar rumah.

Tentu saja jawaban untuk pertanyaan itu adalah tidak. Meskipun mungkin masih ada orang berusia dewasa yang berusaha menjawab pertanyaan itu sebaliknya dan bangga beristilah, misalnya, boys will be boys.

Ada yang perlu disadari mulai dari sekarang.

Ketika usia bertambah, maka ada pilihan yang perlu diambil, yaitu menjadi dewasa. Betul, menjadi dewasa adalah pilihan dan ini adalah pilihan yang tidak akan menjadi seperti fantasi masa kanak-kanak. Menjadi dewasa adalah menyadari bahwa ada yang lebih besar dan lebih penting daripada diri sendiri. Itu berarti, ada banyak yang harus dikorbankan dari diri.

Bukan berarti kita tidak bisa bersenang-senang. Hanya saja bersenang-senang sebagai orang dewasa akan jauh dari pengertian bersenang-senang seperti yang kita bayangkan waktu kecil. Saat kecil, kita senang saat semua kemauan dan keinginan kita terpenuhi. Akan tetapi, kalau kita sadari, semakin bertambahnya usia, semakin panjanglah daftar keinginan dan kemauan, namun semakin sedikit “centang” yang menunjukkan bahwa keinginan dan kemauan itu terpenuhi. Dan kalau lebih diteliti lagi, keinginan dan kemauan yang tidak terpenuhi itu adalah keinginan dan kemauan yang mengarah kepada diri sendiri.

Saya setuju bahwa menjadi dewasa itu—meminjam istilah Lanang Putro—adalah berkarya dan berbagi dan di dalamnya mengandung pengorbanan, karena bagaimana kita bisa benar-benar berbagi kalau tidak berkorban?

Oleh karena itulah menjadi dewasa seringkali sangat melelahkan lalu membuat kita bertanya apakah bisa kembali seperti saat masih kecil.

Begitu pula yang terjadi dalam proses menjadi dewasa dalam iman: penuh perjuangan dan seringkali melelahkan sehingga membuat kita “rindu” untuk mempunyai iman bayi lagi karena saat beriman bayi, kita bertanya, “Tuhan, mengapa Engkau tidak memenuhi (menuruti) kehendakku?”

Beriman dewasa adalah menyadari bahwa kita melaksanakan kehendak Tuhan di dunia, bukan sebaliknya. Beriman dewasa adalah memandang Tuhan sebagai Tuhan, bukan penyedia layanan yang bisa dikomplain setiap kali layanannya kita rasa tidak memuaskan lalu berdoa seolah menyampaikan keluhan kepada Customer Service, “Tuhan, saya sudah bayar (sudah melakukan hal baik yang begini dan begitu) tapi kenapa Kau membiarkan ketidakberesan (hal-hal yang tidak diharapkan) ini terjadi?”

Apa yang kukerjakan selama dua setengah tahun terakhir yang terangkum dalam “melakukan pelayanan sebagai guru di pedalaman Papua” tanpa disadari telah membuatku berpikir bahwa aku sedang melakukan pekerjaan paling penting dan oleh karena itu aku adalah bagian dari kelompok orang baik yang jumlahnya hanya segelintir di dunia. Aku sedang melakukan hal yang berkenan oleh Tuhan. Akan tetapi, bukan berarti kemudian hidupku menjadi mudah dan selalu menyenangkan. Tantangan dan masalah datang silih berganti. Paling berat adalah yang terjadi baru-baru ini, ketika aku merasa telah berkorban banyak dan melakukan hal-hal dengan dilandasi niat baik tapi hal-hal tersebut, pada akhirnya, ternyata belum tepat dan bahkan melukai hati banyak orang.

Pada saat itulah aku ingin menyampaikan keluhanku kepada CS, “Tuhan, aku sudah berbuat baik, namun mengapa Kau mengijinkan aku mengalami ini?” dan pada saat itu juga aku diliputi rasa bersalah yang mendalam serta merasa benar-benar sendiri.

Tiba-tiba tersedia pilihan untuk melarikan diri. Namun aku tahu ujungnya, yaitu masalah lain, suatu saat nanti di tempat pelarian.

Tuhan tidak berjanji, “Ikutlah Aku, maka kamu akan enak-enak” tapi Tuhan berjanji, “… Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.” (Matius 28:20). Dan benar, Tuhan setia pada janjinya. Ia tidak membiarkanku merasa sendiri dan berlarut-larut dalam rasa bersalah dengan mengijinkanku mengalami kebersamaan dengan orang-orang yang membagi penyegaran dan penguatan: Mas Adit dan Mbak Putri dari https://kawankasihtumbuh.com/en/ yang meminjami sepeda selama libur di Jayapura, frater Danang, SJ—kawan lama yang saat SMA pernah ingin menjotosku karena kebodohanku yang menyempatkan diri untuk video call dari kantornya yang kukira adalah WC karena corak keramik di dinding, teman-teman lain yang memberi semangat melalui media sosial, teman-teman komunitas, teman-teman baru di Jayapura dan Bapak yang tiba-tiba menelepon di saat aku merasa benar-benar sendiri.

Aku merasa dibangkitkan dan sadar bahwa komitmen untuk tumbuh dewasa dalam Tuhan harus dilanjutkan. Lalu dengan sungguh-sungguh aku mampu bertanya, “Tuhan, apa yang Kau inginkan aku pelajari dari kejadian ini?”

Jawabannya ternyata adalah belajar lebih dalam tentang kasih, karena,

“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.” (1 Korintus 13:4)

Kurang lebih enam bulan lalu ketika aku mendapat visi hidup untuk berbagi lalu aku seakan memulai kehidupan baru dengan semangat baru. Aku merasa bahwa memang beginilah seharusnya hidup sebagai orang beriman dewasa, yaitu berbagi. Jadi dengan segala niat untuk berbagi kulakuan hal-hal baik yang kukira akan menjadi berkat bagi orang lain. Namun, sepertinya aku sempat lupa bahwa berbagi seharusnya dilandasi dengan kasih seperti yang diungkapkan dalam 1 Korintus 13:4.

Mungkin benar jika yang aku lakukan bersama teman-teman sebagai guru yang mengajar di pedalaman adalah sangat penting dan baik dan itu adalah perwujudan dari visi berbagi, namun ketika hal itu membuatku menjadi sombong sehingga menghambat untuk belajar lebih lanjut, merasa mendengar namun lebih banyak tutup telinga, merasa melihat ke segala arah namun tidak sadar hanya melihat ke diri sendiri, merasa berjuang banyak namun ternyata hanya untuk menaikkan nama diri, merasa berbagi namun hanya agar disukai dan dipuji, Dhuh Gusti, ternyata aku hanya melayani diri sendiri. Aku hanya memegahkan diri.

Syukur kepada Tuhan untuk pengalaman yang terjadi baru-baru ini. Syukur untuk kesempatan belajar lebih dalam tentang kasih yang sejati sehingga aku bisa bertumbuh dewasa dalam iman dan melanjutkan visi berbagi dengan dilandasi kasih yang sejati.

Kehidupan tidak bisa kembali sesederhana seperti sewaktu masih kecil, namun ada damai dan sukacita dalam perjuangan mengerjakan kehendak Tuhan di dunia melalui berbagi.

Terpujilah Tuhan selama-lamanya,

God to be glory forever and ever,

Pinujia Gusti ing salami-laminipun.

Aku siap untuk pelajaran sebagai orang beriman dewasa selanjutnya.

Kalau kamu, apa yang Tuhan ingin kamu belajar dan bertumbuh lebih dalam?

Answering Why I Was Wandering

Dua tahun lalu saya menjuduli perjalanan saya di Papua sebagai “wandering” yang kemudian menjadi judul dari blog ini. Alamat yang saya buat pun adalah “woanderwhy…..com” yang bermaksud mewakili “wondering why i’m wandering”, sebaris kata-kata yang pada saat itu rasanya pas untuk mengungkapkan apa yang sedang terjadi dalam hidup saya.

Kata “wandering”, seperti yang tertulis di tulisan kedua saya di blog ini, menurut Google Translate berarti ‘traveling aimlessly from place to place’ dan dimantabkan penjelasan dari Merriam-Webster Dictionary, yaitu ‘movement away from the proper, normal, or usual course or place’. Lalu dengan sangat bangga saya memadukan penjelasan kedua kamus itu untuk memberi makna perjalanan saya di Papua, ‘movement away from comfort place, aimlessly.’

AIMLESSLY

Begitu pulalah jawaban saya pertama kali waktu menjawab pertanyaan “mengapa kamu bergabung menjadi staf di Ob Anggen?” di hari pertama pertemuan dengan seluruh staf Ob Anggen, baru dan lama.

“Saya juga tidak tahu mengapa saya ada di sini. Mungkin saya di sini untuk mencari tahu alasan mengapa saya di sini,” ucap saya waktu itu dengan cengengesan yang cukup membuat beberapa staf lama menahan dongkol di dada setelah mengetahui betapa aimless-nya alasan saya terbang ribuan kilometer dari Jogja ke Bokondini.

Kedongkolan mereka saya ketahui sekitar 7 bulan kemudian. Kakak Obeth Holago, satu dari staf lama, mengatakan masih ingat betul jawaban saya di hari pertama itu, dan waktu itu ia siap untuk menjaga jarak dari saya. Ia paham bahwa orang yang tidak punya tujuan akan mudah untuk mengecewakan ketika bekerja bersama. Akan tetapi yang dia lakukan malah sebaliknya. Justru ia yang membantu saya menjawab pertanyaan ‘why am I wandering?’. Saya kira dialah orang yang akan menjawab pertanyaan itu, namun ternyata bukan. Ia membantu saya dengan menunjuk kepada siapa saya harus bertanya.

Kemudian orang-orang berikutnya datang, mereka juga membantu menunjuk kepada siapa saya harus bertanya, termasuk Ibu Sri, konselor dari Malang yang suatu hari melihat ketidakberesan dalam diri saya—dalam tulisan‘Apa yang Menggerakkan Hidupmu?’.

Saya pun bertanya kepada Siapa Saya Harus Bertanya dan Dia seperti akan mengecewakan saya di langkah pertama, karena ia langsung menunjuk pada satu hal yang harus saya kerjakan sebelum memberikan jawaban: forgiveness!

I felt like no way! I would never work on such a cowardly thing!

Toh saya tetap coba sedikit, sekadar mengisi kewajiban, dan rasanya sangat tidak enak! “Mengampuni orang yang bersalah kepada kami” itu sangat tidak enak, meskipun baru mencobanya sedikit. Apalagi ketika orang-orang yang bersalah itu adalah mereka yang telah lama saya salahkan atas keadaan susah yang telah saya alami. Ini bukan hal yang enak, ini bahkan sangat sulit. Saya keliru. Pengampunan ternyata bukan untuk seorang pecundang.

Namun, lebih sulit dan tidak enak rasanya waktu saya menemukan apa yang saya tulis di ‘Apa yang Menggerakkan Hidupmu?”. Iri, sakit hati, victim mentality, ternyata telah menguasai hidup saya sekian lama. Saya belum pernah betul-betul bertanggung jawab untuk hidup saya dan membiarkan diri untuk terus melarikan diri dan berjuang for pursuing comfort.

I’d never been satisfied but got lost.

Ketika kemudian saya berkomitmen untuk bertumbuh dalam hal pengampunan, sesuatu yang hebat ditunjukkan kepada saya. Victim mentality yang telah lama mengerak di kepala berangsur-angsur luruh, kemudian sakit hati tidak lagi menjadi penentu utama keputusan-keputusan dalam hidup saya. Saya merasa bebas. Tahu siapa yang saya ampuni? Orangtua saya. Merekalah yang dulu selalu saya salahkan untuk setiap keadaan tidak enak yang saya alami. Akan tetapi kini, setelah saya semakin bertumbuh dalam pengampunan, meskipun berjarak ribuan kilometer, saya merasa lebih dekat dengan mereka. Hubungan kami kini jauh lebih baik dari pada dua tahun sebelumnya.

Saya lantas mengerti mengapa Dia ingin saya mengampuni. Dia ingin saya terbebas dari belenggu victim mentality dan sakit hati. Ia ingin saya bebas karena pada saat itulah saya siap menerima jawaban.

So, why was I wandering? Why did i move away from comfort place and lost everything that i thought was where I put my identity on?

He answered, “I want you to see me. I want you to listen to me. Your identity is in me. I have a task you’ve got to do.”

Pertanyaan selanjutnya, “Tugas apa?”

Well, saya akan menuliskannya nanti. Yang jelas, ini tugas yang ongkosnya tinggi, yang perlu embracing hardship and suffering, dan not to pursue comfort, but …

What do you think?

Saya juga akan mengajakmu ikut serta. Wanna come?

Bertanyalah dulu kepada Siapa Kamu Harus Bertanya ^_^

Finally, I am no longer wandering, got a vision already. Now, I’m in an adventure.

Should I change the title of this blog?😁