Answering Why I Was Wandering

Dua tahun lalu saya menjuduli perjalanan saya di Papua sebagai “wandering” yang kemudian menjadi judul dari blog ini. Alamat yang saya buat pun adalah “woanderwhy…..com” yang bermaksud mewakili “wondering why i’m wandering”, sebaris kata-kata yang pada saat itu rasanya pas untuk mengungkapkan apa yang sedang terjadi dalam hidup saya.

Kata “wandering”, seperti yang tertulis di tulisan kedua saya di blog ini, menurut Google Translate berarti ‘traveling aimlessly from place to place’ dan dimantabkan penjelasan dari Merriam-Webster Dictionary, yaitu ‘movement away from the proper, normal, or usual course or place’. Lalu dengan sangat bangga saya memadukan penjelasan kedua kamus itu untuk memberi makna perjalanan saya di Papua, ‘movement away from comfort place, aimlessly.’

AIMLESSLY

Begitu pulalah jawaban saya pertama kali waktu menjawab pertanyaan “mengapa kamu bergabung menjadi staf di Ob Anggen?” di hari pertama pertemuan dengan seluruh staf Ob Anggen, baru dan lama.

“Saya juga tidak tahu mengapa saya ada di sini. Mungkin saya di sini untuk mencari tahu alasan mengapa saya di sini,” ucap saya waktu itu dengan cengengesan yang cukup membuat beberapa staf lama menahan dongkol di dada setelah mengetahui betapa aimless-nya alasan saya terbang ribuan kilometer dari Jogja ke Bokondini.

Kedongkolan mereka saya ketahui sekitar 7 bulan kemudian. Kakak Obeth Holago, satu dari staf lama, mengatakan masih ingat betul jawaban saya di hari pertama itu, dan waktu itu ia siap untuk menjaga jarak dari saya. Ia paham bahwa orang yang tidak punya tujuan akan mudah untuk mengecewakan ketika bekerja bersama. Akan tetapi yang dia lakukan malah sebaliknya. Justru ia yang membantu saya menjawab pertanyaan ‘why am I wandering?’. Saya kira dialah orang yang akan menjawab pertanyaan itu, namun ternyata bukan. Ia membantu saya dengan menunjuk kepada siapa saya harus bertanya.

Kemudian orang-orang berikutnya datang, mereka juga membantu menunjuk kepada siapa saya harus bertanya, termasuk Ibu Sri, konselor dari Malang yang suatu hari melihat ketidakberesan dalam diri saya—dalam tulisan‘Apa yang Menggerakkan Hidupmu?’.

Saya pun bertanya kepada Siapa Saya Harus Bertanya dan Dia seperti akan mengecewakan saya di langkah pertama, karena ia langsung menunjuk pada satu hal yang harus saya kerjakan sebelum memberikan jawaban: forgiveness!

I felt like no way! I would never work on such a cowardly thing!

Toh saya tetap coba sedikit, sekadar mengisi kewajiban, dan rasanya sangat tidak enak! “Mengampuni orang yang bersalah kepada kami” itu sangat tidak enak, meskipun baru mencobanya sedikit. Apalagi ketika orang-orang yang bersalah itu adalah mereka yang telah lama saya salahkan atas keadaan susah yang telah saya alami. Ini bukan hal yang enak, ini bahkan sangat sulit. Saya keliru. Pengampunan ternyata bukan untuk seorang pecundang.

Namun, lebih sulit dan tidak enak rasanya waktu saya menemukan apa yang saya tulis di ‘Apa yang Menggerakkan Hidupmu?”. Iri, sakit hati, victim mentality, ternyata telah menguasai hidup saya sekian lama. Saya belum pernah betul-betul bertanggung jawab untuk hidup saya dan membiarkan diri untuk terus melarikan diri dan berjuang for pursuing comfort.

I’d never been satisfied but got lost.

Ketika kemudian saya berkomitmen untuk bertumbuh dalam hal pengampunan, sesuatu yang hebat ditunjukkan kepada saya. Victim mentality yang telah lama mengerak di kepala berangsur-angsur luruh, kemudian sakit hati tidak lagi menjadi penentu utama keputusan-keputusan dalam hidup saya. Saya merasa bebas. Tahu siapa yang saya ampuni? Orangtua saya. Merekalah yang dulu selalu saya salahkan untuk setiap keadaan tidak enak yang saya alami. Akan tetapi kini, setelah saya semakin bertumbuh dalam pengampunan, meskipun berjarak ribuan kilometer, saya merasa lebih dekat dengan mereka. Hubungan kami kini jauh lebih baik dari pada dua tahun sebelumnya.

Saya lantas mengerti mengapa Dia ingin saya mengampuni. Dia ingin saya terbebas dari belenggu victim mentality dan sakit hati. Ia ingin saya bebas karena pada saat itulah saya siap menerima jawaban.

So, why was I wandering? Why did i move away from comfort place and lost everything that i thought was where I put my identity on?

He answered, “I want you to see me. I want you to listen to me. Your identity is in me. I have a task you’ve got to do.”

Pertanyaan selanjutnya, “Tugas apa?”

Well, saya akan menuliskannya nanti. Yang jelas, ini tugas yang ongkosnya tinggi, yang perlu embracing hardship and suffering, dan not to pursue comfort, but …

What do you think?

Saya juga akan mengajakmu ikut serta. Wanna come?

Bertanyalah dulu kepada Siapa Kamu Harus Bertanya ^_^

Finally, I am no longer wandering, got a vision already. Now, I’m in an adventure.

Should I change the title of this blog?😁