Begini Rupanya Terlatih Tak Berdaya

Saipul (bukan nama sebenarnya), bekerja serabutan sebagai kuli bangunan. Usianya tiga puluhan awal, lajang, tinggal dengan orangtua dan penghasilannya yang tidak tentu itu selalu berakhir pada rokok dan pulsa data. Saipul sangat menikmati waktu istirahat ngopi di sela-sela kerjanya. Selain dapat menyeruput kopi dan menggigit gorengan kalau yang kasih kerja berbaik hati, Saipul bisa mengisap rokoknya sambil scrolling dan cek notifikasi. Bisa terbayangkan kalau waktu petang sehabis makan di hari-hari ia punya pekerjaan adalah waktu terbaiknya: ada lelah yang dilepaskan, ada uang di tangan yang artinya ada rokok dan segelas kopi instan. Gorengan? Bolehlah, kalau ada sisa dari emaknya jualan.

“Apalah itu harta kalau hanya menimbulkan prahara keluarga? Mending kayak saya, tidak punya apa-apa,” kata Saipul mengomentari berita selebritis rebutan harta warisan di televisi.

Hidup Saipul bergantung pada orangtuanya yang bekerja sebagai tukang panggilan dan jual gorengan. Mereka hidup di rumah kontrakan yang beberapa kali harus dibayar dengan utang koperasi yang bunganya cukup mencekik. Mereka akrab dengan situasi “gali-tutup lubang” selama lebih dari 20 tahun. Harapan seperti apa yang tersedia bagi mereka di masa depan?

Kenal beberapa orang dengan situasi seperti ini?

Dalam buku Grit, Steve Maier, ahli psikologi dan neuroscience mengatakan kepada Angela Duckworth bahwa ia khawatir anak-anak yang hidup dalam kemiskinan akan mengalami apa yang disebut dengan “learned helplessness”. Secara bebas, “learned helplessness” saya terjemahkan sebagai situasi ketidakberdayaan atau ketidakmampuan yang “tidak sengaja dilatih” secara terus-menerus. Maier menambahkan kalau anak-anak yang hidup dalam kemiskinan akan mengalami banyak situasi yang sangat sulit tanpa mendapatkan cukup pengalaman berhasil keluar dari situasi-situasi sulit tersebut. Anak-anak tersebut kemudian “terlatih” untuk pasrah terhadap situasi sedangkan menurut Maier, mereka seharusnya belajar bahwa “kalau saya melakukan sesuatu, maka sesuatu (perubahan) akan terjadi.”

Ketika mengenal Saipul dengan kisah hidupnya, saya teringat tentang learned helplessness. Akan tetapi saya juga menyadari kebiasaan lama saya yang sebenarnya bisa saja membawa saya ke situasi yang sama. Waktu masih kuliah saya menikmati masa “habiskan uang saku mingguan.” Kalau hari Jumat masih tersisa sedikit uang, berarti bisa beli rokok setengah sampai satu bungkus untuk ngebul Sabtu-Minggu sebelum hari Senin dapat uang saku lagi untuk minggu berikutnya. Menabung? Kalau ada uang logam baru disimpan. Nanti kalau sudah terkumpul banyak, ditukar di kios lalu uangnya buat beli rokok lagi.

Kini berada di tempat yang dinilai termiskin di Indonesia, saya melihat secara nyata learned helplessness dalam beberapa bentuk. Saya menjadi sadar bahwa apa yang disebut “kemiskinan” itu lebih dari sekadar situasi tidak mempunyai cukup materi, namun situasi mental yang membentuk kebiasaan dan cara pandang terhadap uang sebagai pendukung aktivitas ekonomi dan sosial. Dan mental serta cara pandang tersebut, sedihnya, tidak sengaja terlatih dan jadi kebiasaan. Saya pun melihat bahwa sesuatu yang gratis bisa punya andil besar untuk memperparah keadaan, yaitu dengan menegaskan kepada si miskin bahwa “saya miskin, saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mendapatkan bantuan uang tunai atau sesuatu yang serba gratis. Jadi, baiknya saya menunggu. Kalau tidak dapat, saya akan menuntut karena saya miskin dan saya berhak mendapatkan bantuan dan gratisan.”

Lalu apa yang bisa kita buat?

Pernah baca komik Sinchan? Di salah satu adegan dalam komik itu (lupa volume berapa), ceritanya ada seorang bapak yang bingung celingukan di tengah jalan. Sinchan yang melihat bapak itu kemudian tergerak hatinya untuk menolong. Segera ia berdiri di sampingnya lalu ikut celingukan. Si bapak tambah bingung lalu bertanya kepada Sinchan. Dialognya kira-kira begini:

Si Bapak  : “Sedang apa kamu di sini?”

Sinchan                : “Saya melihat Bapak sedang bingung, jadi saya bantu bingung.”

                Saya masih tergelitik mengingat kekonyolan Sinchan. Tapi, baru ketika menulis ini saya sadar bahwa Sinchan sebenarnya melakukannya secara tulus dan serius: membantu orang yang bingung dengan ikut bingung. Makanya ia serius ikut celingukan. Mungkin itu yang sedang saya lakukan melalui tulisan ini, yaitu menemanimu bingung ketika dihadapkan dengan perkara yang saya utarakan di atas. Tapi, saya serius!

Hanya saja, sebagai mantan mahasiswa, saya coba selangkah lebih maju dari Sinchan yang jadi anak TK bertahun-tahun. Pertama, saya ingin mengajak untuk sadar. Kesadaran ketika kita berada dalam situasi sulit, kita punya dua pilihan: berlatih untuk menjadi tidak berdaya atau berlatih untuk mencari jalan keluar dan mengatasi masalah. Termasuk didalamnya adalah menyadari bahwa dalam suatu masalah kita perlu belajar untuk mengambil tanggung jawab sepenuhnya. Bantuan adalah opsi jika tersedia atau sebuah bonus atau sebuah anugerah. Bantuan bukanlah hal wajib yang kita bisa tuntut untuk terima. Jangan sampai kita terlatih untuk “kita yang salah, orang lain (orangtua, keluarga, pemerintah) yang tanggung.”

Berikutnya, ada sedikit tips keuangan dari seorang yang hidup juga masih pas-pasan, yaitu menabunglah! Sekian lama saya percaya bahwa uang saku itu untuk dihabiskan, kalau ada sisa baru ditabung. Keliru! Tabungan itu bukan uang sisa. Tabungan perlu direncanakan bahkan dari hari pertama ketika terima gaji atau terima uang saku. Saran kepada para orangtua, bilang ke anakmu: “Ini uang sakumu, sekian ini harus ditabung. Boleh lebih, kurang jangan.”

Kalau hanya bisa menabung sedikit karena banyaknya tanggungan, tidak masalah. Tetap lakukan. Memang tidak terasa ketika baru mulai, tapi percayalah, setelah beberapa bulan berikutnya ada perasaan lega dan bangga melihat ada sekian rupiah yang tersimpan. Ini akan meningkatkan kepercayaan diri. Nah, nantinya bisa naik level dengan investasi, yang tidak bodong tentunya. Hindari pinjol atau pinjaman lain-lain yang semakin dimudahkan prosesnya namun mencekik di bulan-bulan berikutnya. Hati-hati ya, iklan-iklannya telah merajalela di dunia maya.

Terakhir, dalam The Twelve Steps of Alcoholics Anonymous, langkah pamungkas nan paling penting bagi seorang pecandu untuk bebas lepas dari alkohol adalah membantu pecandu lainnya. Diibaratkan kecanduan, learned helplessness dalam segala bentuk dapat diatasi dengan beberapa langkah dan sama, langkah terakhir adalah membantu orang lain alias berbagi. Berbagi seperti seseorang yang mengupayakan segalanya untuk orang yang dikasihinya. Berbagi adalah bentuk kasih, dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri adalah Perintah Kedua setelah Perintah Utama untuk mengasihi Tuhan.

Materi dan waktu adalah dua hal berharga yang bisa kita bagi kepada orang lain. Seseorang bisa berjuang dengan mengorbankan waktunya untuk mengantri sejam lebih demi mengasihi diri sendiri, yaitu membeli es krim dan es teh boba yang lagi viral di kota.

Mengantri lama dan panjang demi es krim dan teh boba viral adalah bentuk pengamalan nilai rela berkorban untuk diri sendiri. (Sumber: Pencarian Google)

Bisakah kita mengorbankan waktu dan materi, yang jauh lebih berarti dari sekedar antri dan beli eskrim atau es teh boba, yaitu untuk berbagi dengan orang lain?

Bisa!

Don’t be helpless!

Sumber Featured Image:

4 thoughts on “Begini Rupanya Terlatih Tak Berdaya”

    1. Iya siapa lagi lah yang manggil aku Vikt nek ra kamu dan Unggul.

      Makasih yaa mau membaca blogku. Aku kok terharu. It means a lot ngerti ra. Aku malah yg lagi tau blogmu😢

      Like

Leave a comment