Bukan Sekadar Rayuan, Tetapi Komitmen Merawat Kedamaian

“And for me, that is the true meaning of peace. When your heart is full of joy, when you are capable of having a family and fighting for it, it doesn’t matter what is going on around you, because with peace you have overcome all difficulties.” – Paulo Coelho, The Meaning of Peace

Dua minggu lalu, di tengah pergumulan antara menjemur cucian atau meninggalkannya di bak karena cuaca tidak cerah-cerah amat, saya baca tulisan terbaru Ardha. Kawan KKN, les tari sekaligus partner jualan awul-awul saya ini bercerita tentang tahun pertama pernikahannya. Reflektif dan menggelitik. Dia menjudulinya “Laporan Monitoring dan Evaluasi Pernikahan Periode 2022-2023”

Terasa segar, hangat, dan dekat. Sangat berarti bagi saya yang sedang mengalami dan menyaksikan sederetan situasi tidak mengenakkan akhir-akhir ini. Pada pagi yang sama, beberapa saat sebelum menemukan tulisan Ardha, seorang suami menghajar keras istrinya di jalan depan rumah. Sesaat setelahnya kudengar berita viral tentang seorang suami yang melempar istrinya ke laut dalam penyeberangan Merak-Bakaheuni.

Sementara dalam minggu-minggu sebelumnya,

Kantor sekolah saya dibakar, satu rekan guru dan satu murid mendapatkan gangguan dan ancaman yang sangat traumatis. Ketiganya dilakukan dengan cara yang sama pengecutnya: diam-diam lalu lari. Seketika kedamaian sekolah kami memudar digantikan rasa was-was seperti saat melihat orang asing di sekitar atau mendengar anjing sekolah menggonggong lama pada malam hari. Tanpa kedamaian, sekolah kami tidak bisa jalan. Maka, kami menutup sekolah sementara sambil mengurus ini itu dengan harapan kedamaian itu bisa kami dapatkan kembali.

Kami bertanya-tanya,

Kemana kedamaian itu? Mengapa tidak lagi terasa aman dan nyaman di sekitar kami?

Saya yakin bahwa membaca tulisan Ardha setelah menemukannya di Instagram pagi itu—setelah cukup lama sengaja tidak main Instagram—bukanlah suatu kebetulan. Ada perasaan damai di tengah peristiwa-peristiwa tidak mengenakkan yang sedang terjadi di sekitar kami. Ada harapan bahwa kedamaian tidak kemana-mana meskipun terkadang terasa jutaan kilometer jauhnya.

Ardha, kawan yang punya bagian penting dalam hidup saya—dan akan tetap penting meskipun ia berada di jalur negeri sedangkan saya di jalur swasta :D—mengingatkan bahwa kedamaian itu dimulai dari  komitmen suami dan istri untuk saling mengasihi dalam segala situasi. Selanjutnya, komitmen untuk menjadi ayah dan ibu yang mengasihi anak-anaknya dengan cukup serta mengantarkan mereka menjadi dewasa tanpa memanjakan dan tanpa kekerasan.

Kedamaian itu dimulai dari rumah, dari keluarga.

Sayangnya, kita juga sering mendengar bahwa keluarga menjadi tempat untuk berkembangbiaknya sakit hati, kebencian, perasaan ditinggalkan, pengkhianatan, perpecahan, trauma dan kekerasaan. Saya pun merasakan bagaimana kerasnya usaha bapak, mamak, saya dan kedua saudara saya untuk tetap bertahan dan bersatu di tengah badai kehidupan yang beberapa kali bisa saja menghempaskan keluarga kami sampai hancur.

Kita bisa menduga dampak keluarga yang tidak damai bagi setiap anggotanya. Kita bisa menemukan berita, laporan, dan berbagai bentuk informasi tentang akibat dari keluarga yang hancur. Sebagai guru, saya menemukan beberapa murid saya yang setengah mati bertahan di sekolah, hidup dalam tantangan besar dalam keluarganya.

Ini sempat membuat saya takut.

Mungkin juga sudah ada orang-orang yang memutuskan untuk tidak berkeluarga dengan tujuan untuk menghindari tantangan-tantangan hidup berkeluarga.

Seorang politisi pernah mengatakan kalau seseorang mendambakan dunia politik yang bersih, dia perlu bergabung di dunia politik dan membersihkan kekotorannya.

Pasti sangat berat tugas itu.

Sudah banyak berita tentang kegagalan dan kehancuran keluarga, tapi saya masih mendambakan keluarga yang baik. Jadi, saya ingin bergabung dengan Ardha dan jutaan lainnya yang masih punya harapan untuk membina keluarga yang bahagia.

Pasti kita akan membuat salah. Pasti akan ada konflik. Pasti akan ada marah. Ardha bilang, bahkan di tengah suasana yang syahdu, di atas kasur, dalam temaram cahaya di kamar, obrolan suami-istri yang hangat pun bisa berubah menjadi jadi menjengkelkan dan memicu terjadinya konflik.

Akan tetapi,

selagi kita masih geleng-geleng kepala mendengar berita seorang suami mau melemparkan istrinya ke laut,

selagi kita masih mengelus dada mendengar cerita seorang suami tega memukul istrinya,

selagi kita masih membenci kabar dan berita tentang kekerasan dalam keluarga yang terjadi di mana-mana, kita bisa menyadari dan mengakui bahwa masing-masing dari kita juga punya potensi untuk melakukan hal yang sama. Saya sedih, tapi saya juga salah satunya.

Jadi, sangat penting untuk kita—dari yang sudah berkeluarga, masih pacaran, sampai yang masih dalam masa pencarian (atau yang berharap dicariin)—mengambil komitmen dari sekarang untuk tidak melakukan kekerasan sebagai pilihan ketika ada yang berbuat salah, ketika ada konflik, dan ketika ada marah.

Saya belum menikah dan masih menjalani hubungan yang serius dengan segala keindahannya, yang termasuk di dalamnya adalah membuat kesalahan, konflik, dan saling marah. Saya menyadari betul bagaimana pilihan respon yang salah terhadap suatu masalah dapat mencabik-cabik hubungan kami. Saya harus selalu mengingat dan diingatkan bahwa kesalahan, konflik, dan marah itu hal yang pasti akan terjadi tetapi saya punya pilihan respon yang masing-masing membawa ke jalur yang berbeda.

Saya ingin setia pilih jalur kasih. Di situ ada pemaafan dan pemulihan hubungan. 

Ketika menyaksikan konflik antara orangtua saya dulu, saya berpikir bahwa kalau saja bapak saya melakukan ini daripada itu atau kalau saja mamak saya mengatakan ini daripada itu, pasti konflik akan diselesaikan dengan lebih baik. Ternyata itu tidak semudah perkiraan saya.

Jalur kasih membutuhkan usaha, waktu, dan kerja sama. Jalur kekerasan cukup sekejap saja dan menghancurkan semua. Jalur kasih itu memelihara kesabaran, kemurahan hati, pengharapan, pengampunan, perjuangan, kepercayaan, dan kerendahan hati. Jauh berbeda dengan jalur kekerasan yang dengan usaha sedikit saja sudah cukup untuk mengobarkan api untuk menghanguskan segalanya.

Semoga Teman-Teman dalam situasi damai. Jika sedang tidak, mintalah pada Yang Punya dan selalu mengusahakannya setiap hari. Saya turut bersamamu.

Terakhir, bulan lalu di hari Valentine, saya diingatkan bahwa jauh lebih mudah untuk menunjukkan kasih pada hari itu saja, tapi perlu usaha dan komitmen untuk mengasihi orang-orang yang penting dalam kehidupan kita setiap hari.

Untuk kekasih, saya buatkan sebuah lagu. Dari jarak ratusan kilometer saya nyanyikan untuknya. Pada bagian reff, saya ulang-ulang,

“I love you every day.”

Itu adalah bentuk komitmen dengan sedikit kandungan rayuan di dalamnya.

Saya percaya bahwa kita bisa mulai mengusahakan kedamaian dengan mengungkapkan hal yang sama kepada orang-orang terdekat kita, keluarga dan orang-orang terkasih lainnya.

Katakanlah,

“Saya mengasihimu setiap hari.”

Lalu mulai menghidupinya sejak detik itu juga.